Selasa, 18 Januari 2011

Memahami Rahasia-rahasia Ibadah Haji

Oleh H.M. Nasir, Lc., MA

Rangkaian kegiatan ibadah haji, mulai dari niat ihram di Miqat, wuquf di Arafah, mabit dan memungut batu di Muzdalifah, melontar 3 jumroh dan bermalam di Mina, hawaf di Baitullah, sa’i antara Sofa dan Marwa, diakhiri dengan tahallul, semua kegiatan ini sarat dengan rahasia-rahasia atau nilai filosofis di balik perbuatan-perbuatan tersebut.

Diawali dengan niat dan ihram, adalah isyarat ketulusan seorang hamba memenuhi penggilan Allah Swt. dengan pakaian putih tanpa berjahit dengan rasa hina di muka bumi ini karena semuanya adalah milik Allah Swt., hanya dua helai kain ihram sajalah yang dapat dipergunakan untuk menutup auratnya, itupun tidak sama dengan pakaian seharihari,persis ketika dia lahir ke dunia ini hanya dibalut dengan sehelai kain yang tidak berjahit, dan pakaian inipun mengingatkannya ketika di padang mahsyar nanti berdiri di hadapan Allah tanpa sehelai benangpun yang membalut
tubuhnya, dengan menghayati proses awal dari rangkaian ibadah haji ini saja akan dapat merontokkan keangkuhan dan kesombongan manusia di hadapan Tuhan sang pemilik alam semetas ini.

Dengan pakaian ihram serba putih itu, semua jamaah haji digiring ke suatu tempat yang disebut Arafah dan merupakan puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji "Haji itu adalah Arafah". Sebagaimana sabda Nabi Saw. setelah mencopot kesombongan dari adalam diri mereka lewat pakaian ihramnya, di tempat ini mereka dipaksa untuk mengetahui siapa diri mereka sebenanrya, di tempat ini tidak ada perbedaan antara kulit putih dan kulit hitam, antara pejabat dan rakyat, antara kaya dan miskin dan seterusnya.

Dengan "pengenalan" diri secara total ini mereka akan "mengetahui" Tuhannya. Siapa yang "mengenal" dirinya dia akan "mengenal" Tuhannya. Atau paling tidak mereka akan memberanikan diri untuk memperkenalkan jati dirinya kepada Allah Swt. dengan ucapan-ucapan yang keluar dari lubuk hati yang dalam : Ya Allah kepada-Mu-lah aku menghadap, kepada-Mu-lah aku bertawakkal, hanya Engkaulah yang aku inginkan. Ampunilah dosa-dosaku jadikanlah ibadah hajiku haji yang mabrur, kasihanilah aku, dan jangan Engkau kecewakan aku, berkahilah perjalananku, tunaikanlah di Arafah
ini kebutuhanku, sesungguhnya Engkau atas segala sesuatu Maha Kuasa.

"Mengenal" diri, memperkenalkan diri kepada Allah dan mengenal Allah Swt., ketiga kata kunci ini merupakan pesan moral penting dihayati oleh seorang haji, dan direnungkan ketika di padang Arafah sesuai makna dari "Arafah" itu sendiri adalah "Pengenalan".Setelah puncak pelaksanaan ibadah haji ini (wukuf) diselesaikan mereka bertolak dari tempat yang mulia ini menuju Mina dengan kendaraan atau berjalan kaki adalah merupakan kasih sayang Alah Swt. kepada hambahamba-Nya untuk berhenti sejenak bermalam di Muzdalifah menghilangkan kelelahan dalam perjalanan sesuai dengan arti "al Izdilaf Muzdalidah" maknanya tempat berkumpul.

Walaupun berkumpul di tempat ini tidak begitu lama tapi cukup berkesan bila dimanfaatkan untuk tidur sejenak, penulis pernah merasakan tidur di Muzdalifah ini ada keistimewaannya dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain, yaitu kepuasan dan kepulasan yang dapat memulihkan kembali tenaga-tenaga yang telah terkuras selama perjalanan dari Arafah menuju tempat yang mulia ini, walaupun kesempatan untuk tidur hanya sedikit. Di tempat ini para jamaah haji masih dalam berpakaian ihram dan tidak lupa mengudapkan do’a di Muzdalifah: Ya Allah, sesungguhnya ini
adalah tempat berkumpul (muzdalifah), aku mohon kepada mu untuk memberikan kepadaku segala kebaikan karena Waspada Online
http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 9 February, 2008, 06:20

sesungguhnya tidak ada yang memberi kebaikan selain Engkau… dan seterusnya. Setelah stamina badan mereka pulih, mereka melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melontarkan 3 jamarat, yaitu Jumrah Aqabah, Jumroh Wustha dan Jumroh Ula. Orang-orang awam sering menyebut istilah ketiga tempat pelontaran itu dengan sebutan Iblis Besar, Iblis Menengah dan Iblis Kecil. Walaupun menurut sejarah pelemparan ini betul-betul melontar iblis dalam wujud yang nyata, karena pada masa itu Nabi Ibrahim ketika hendak menyembelih anaknya Ismail atas perintah Allah Swt.

iblis datang menjelma di Aqabah untuk menggagalkan ketaatan Nabi Ibrahim tersebut, tepatnya di Aqabah, Iblis pun tidak putus asa, lalu dia mempengaruhi istrinya Hajar, agar perbuatan itu jangan dilakukan, maka Hajar pun melempar iblis dengan kerikil-kerikil kecil di Jumrah Wustha (pertengahan) itu, ibslis pun mengalihkan
rayuannya kepada yang akan disembelih yaitu Nabi Ismail as. bahwa perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh siapapun di dunia ini sepanjang sejarah, maka Nabi Ismail as.

melempar iblis di tempat yang disebut dengan Jumrah Ulah (Jumrah kecil).Dari sudut syariat semua perbuatan itu dilakukan semata-mata ta’abudiah, tauqifiah mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. walaupun setan dan iblis sekarang ini tidak muncul dalam bentuk konkrit, tetapi setan itu mengalir di seluruh tubuh manusia di cela-cela urat nadi, bahkan di tempat tidak mengalir darahpun setan bisa bertengger seperti di rambut dan di kuku. Maka tidak ada salahnya dalam pelaksanaan melontar jamarat ini kita tafsirkan sebagai bahasa simbolik sebagai lambang permusuhan kita dengan setan besar, pertengahan dan setan-setan kecil.

Sehingga setelah pelaksanaan melontar ini para jamaah haji tidak lagi berteman dengan setan-setan yang ada di tanah air, baik setan besar, setan pertengahan ataupun setan kecil.Dengan dilaksanakannya melempar jumrah tanggal 10 Zulhijjah, maka berakhirlah batas berpakaian ihram, berarti pelaksanaan ibadah haji sudah hampir selesai.

Sewajarnyalah para tamutamu Allah Swt. berpamitan dengan Baitullah Ka’bah yang mulia, yaitu melakukan tawaf wada’ (tawaf perpisahan). Maka jauh sebelum pamitan itu dilakukan, seyogianyalah tamutamu Allah, merapikan diri dengan bergunting dan bercukur, walaupun masih ada kegiatan ibadah haji yang masih dalam pelaksanaan seperti bermalam di Mina dan tawaf haji serta sa’i haji, ini suatu isyarat bahwa bertahallul (dengan bergunting atau bercukur) sebagai ungkapan
kegembiraan dengan terlaksananya sebagian besar kegiatan ibadah haji, rasa syukur itu tidak cukup dengan hati tapi lampiaskan juga dengan mendandani, dan merapikan diri walaupun dengan menggunting beberapa helai rambut bagi laki-laki atau perempuan.

Sedangkan bercukur hanya dianjurkan kepada kaum laki-laki tidak untuk perempuan. Dan setiap satu helai rambut yang digugurkan dinilai satu kebaikan, lebih banyak rambut yang digugurkan lebih banyak pula nilai kebaikan yang diperoleh. Lain halnya dengan perempuan tidak dianjurkan untuk memotong rambutnya melebihi dari ukuran satu jari apalagi dengan menggundul kepala, ini tidak pernah dilakukan oleh para istri-istri Rasul Saw. Sebagai ganti dari kebaikan itu maka perempuan diwajibkan menutup kepala mereka baik sebelum haji apalagi setelah pulang dari mengerjakan ibadah haji, dan menutup kepala bagi perempuan di nilai ibadah bukan sebagai tradisi, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang tidak loyal dengan busana muslimah. Bila seseorang tidak punya rambut sama sekali tidak boleh diganti dengan memotong jenggot atau kumis, tapi dianjurkan untuk melakukan pisau cukur di atas kepalanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasul Saw. bersabda : Siapa-siapa yang datang di hari kurban (tanggal 10 Zulhijjah) untuk melaksanakan pelontaran Jumrah Aqabah. Sedangkan di atas kepalanya tidak ada sehelai rambut pun maka dia cukup hanya melewatkan pisau cukur di atas kepalanya. Wallahua’lam.(Bersambung)


Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Al-quran Al Mukhlisin Batu Bara.

Tidak ada komentar: