Kamis, 03 Februari 2011

Mampukah Zakat Mengentas Kemiskinan?


Oleh Abdul Gaffar AS

Hari-hari sekarang ini merupakan musim panen zakat. Memang, walaupun mengeluarkan zakat bagi umat Islam berlaku sepanjang tahun, mengingat kebesaran pahala Ramadan, terutama di sepuluh hari terakhir, para muzakki (muslim wajib berzakat) setiap tahun memilih ini untuk mengeluarkan zakat.
Sementara itu, survei yang pernah dilakukan Universitas Islam Negeri (dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation pada 2004-2005 mengungkapkan, jumlah kedermawanan (filantropi) umat Islam Indonesia yang biasa disalurkan dalam bentuk zakat, infaq, dan sodaqoh (ZIS) mencapai Rp 19,3 triliun per tahun. Bila angka ini diproyeksikan ke 2007 dengan koreksi inflasi versi BPS pada 2005 dan 2006 masing-masing 17,1% dan 6,6%, tahun ini bisa dibulatkan menjadi Rp 24 triliun.
Di sini kita tidak berbicara tentang hukum atau aturan agama di seputar berzakat. Tetapi, bagaimana agar zakat bisa berperan dalam ikut mengentas kemiskinan sekaligus menyelamatkan umat dari jurang kekufuran. Yakni, bagaimana zakat yang dikeluarkan para muzakki benar-benar sampai di tangan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang paling membutuhkan, pada saat yang tepat dan maksimal.
Hal itu terkait pengumuman Biro Pusat Statistik beberapa bulan lalu bahwa berdasarkan angka garis kemiskinan (batas pendapatan per kapita per bulan antara penduduk miskin dengan nonmiskin) pada Maret 2007 sebesar Rp 166.697 atau Rp 2.000.364 per tahun, ternyata penduduk miskin kita ada 16,58% atau sekitar 37,17 juta orang. Kalau kita asumsikan pendapatan rata-rata rakyat miskin itu 50% dari nilai garis kemiskinan, pendapatan mereka hanyalah Rp 1.000.182 per tahun atau kurang dari Rp 2.800 per hari. Sungguh memilukan.
Andaikata 50% ZIS itu diberikan kepada 80% fakir dan miskin yang umumnya muslim, yaitu 2 golongan yang diprioritaskan dari 8 ashnaf mustahiq (QS : At Taubah 60), rata-rata per kapita akan mendapat Rp 402.145, sama dengan 40% pendapatan mereka sekarang.
Atau jika ZIS yang sama diberikan hanya kepada 25% fakir dan miskin yang mudah dijangkau, masing-masing akan menerima Rp 1.286.691. Jadi, bila ditambah rata-rata pendapatan selama ini (yang di depan diasumsikan Rp 1.000.182) akan menjadi Rp 2.286.873 atau 14,3% di atas garis kemiskinan. Itu berarti bisa mengurangi penduduk miskin 25% atau 9,32 juta jiwa. Angka itu mungkin terlalu teoretis dan hanya di atas kertas, namun merupakan salah satu peluang potensial dalam upaya mengentaskan kemiskinan di negara ini.
Pemerintah cukup tanggap masalah ini dengan diberlakukannya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini menentukan organisasi pengelola zakat formal (selanjutnya disebut OPZ) yang terdiri atas Badan Amil Zakat (BAZ), yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan pemerintah. Lalu dengan UU No 17/2000 yang membebaskan pajak atas zakat yang dikeluarkan perusahaan atau perorangan wajib pajak melalui OPZ.
Bahkan, pada Oktober 2005 Presiden SBY telah mencanangkan Gerakan Zakat Nasional dan meminta OPZ mempertahankan kepercayaan masyarakat serta mengelola zakat dengan manajemen modern dan profesional. Tetapi, mengapa sampai pada tahun lalu zakat yang terkumpul melalui BAZ dan LAZ konon masih kurang dari Rp 850 miliar. Atau tidak sampai 4% potensi ZIS per tahun.
Hal ini sudah bisa diketahui dari hasil survei 2004-2005 itu, yang juga mengungkapkan 70% muzakki menyerahkan zakat melalui panitia lokal di masjid-masjid sekitar. Sedangkan yang menyerahkan zakat maal melalui BAZ dan LAZ hanyalah 3 dan 4%. Walaupun hasil survei mengungkap pula muzakki yang tidak percaya pada kedua organisasi formal itu hanya 10%.
Jadi, sesungguhnya peran OPZ bisa ditingkatkan, karena penyaluran lewat organ formal tentu terkelola dengan lebih baik. Jangkauan operasionalnya jauh lebih luas, untuk bisa mencapai KTI yang paling banyak fakir dan miskinnya. Begitu pula SDM-nya lebih profesional dan biasanya dipimpin pejabat pemerintah atau tokoh masyarakat yang bisa dipercaya.
Namun, di balik itu, bila kita tanyakan pada muzakki tradisional (non-institusi yang merupakan mayoritas), umumnya menjawab alasan berzakat langsung pada mustahiq atau melalui panitia-panitia kecil setempat ialah karena mereka tahu siapa penerimanya dan dapat dikatakan mendekati 100% sampai ke tangan yang berhak. Jadi, bukan karena tidak percaya atau tidak tahu adanya OPZ.
Dasar upaya peningkatan kepercayaan ini tentu tidaklah terlalu sulit. Cukup dengan mengetahui secara pasti keinginan sesungguhnya para muzakki dalam menyalurkan ZIS itu.
Walaupun secara hakiki sudah jelas seorang yang berzakat tentu mengharapkan rida Allah atas amaliahnya menunaikan rukun Islam yang ketiga. Namun, secara umum seorang muslim yang punya rasa tanggung jawab sosial paling tidak keinginannya adalah agar zakat yang menjadi kewajiban disalurkan sesuai tuntunan agama, sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan tepat pada waktunya secara maksimal.
Untuk ini pun, pemerintah cukup tanggap dan prediktif. Terbukti dengan sudah adanya SK Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 T2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Di dalamnya ditegaskan bahwa prinsip kerja OPZ adalah amanah, profesional, dan transparan. Sedangkan sifat pengelolaannya harus mandiri/independen, netral, tidak berpolitik, dan tidak diskriminatif.
Atau gampangnya, setiap BAZ atau LAZ harus menerapkan prinsip good organization government sesuai pedoman Depag tersebut, yaitu :
Amanah, maksudnya agar OPZ bekerja efektif (doing the right things). Dapat dipercaya sepenuhnya, baik dalam menjaga keamanan fisik ZIS maupun penyalurannya, benar-benar sesuai tuntunan agama dan disalurkan hanya pada mustahiq paling memerlukan. Dalam hal ini ialah mengatasi kemiskinan dan kebodohan sebagian umat yang bisa membawa ke arah kekufuran.

Ir Abdul Gaffar AS, MM, anggota Dewan Pertimbangan Kadin Jatim.

Tidak ada komentar: