Senin, 07 Februari 2011

SENI BUDAYA ISLAM Transformasi Tradisi dan Indahnya Beragama


Oleh Ardus M Sawega

Bau rokok klembak-kemenyan mendadak menusuk hidung ketika serombongan orang desa—lelaki, perempuan, dan anak-anak—yang bersahaja turun dari bus kecil di Balai Soedjatmoko, Solo, Jumat (11/9) silam. Selain bersarung dan merokok klembak, keunikan warga Dusun Tempel di ketinggian 2.900 meter Gunung Merbabu itu adalah ritual ”Suluk Sewelasan”, tradisi yang mereka pegang teguh sejak 11 November 1955.

Ritual Suluk Sewelasan oleh kelompok tarekat Qodriyah Naqsabandiyah dari Dusun Tempel, Ngampel, Boyolali, Jawa Tengah, ini tampil dalam Festival Seni Budaya Islam yang berlangsung pada 10-13 September 2009 di Balai Soedjatmoko.

Festival ini menampilkan delapan kelompok dengan corak dan tradisi yang berbeda. Ini mencerminkan keberagaman aliran Islam yang berkembang di Indonesia sekaligus menampakkan ”wajah” Islam yang telah beradaptasi dengan budaya lokal. Ada Suluk Sewelasan yang bersahaja, santiswaran, hadrah, hingga nasyid yang ngepop.

Zuly Qodir, pengajar pada Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, menegaskan, itu merupakan fakta yang tak terbantah dalam perkembangan Islam di Jawa. ”Berbagai bentuk seni budaya Islam yang berkembang di Jawa tak terdapat di Arab sana,” katanya.

Suluk Sewelasan tergolong ritual yang sudah langka dalam tradisi budaya Islam di Jawa. Tradisi yang dibawa dari Persia ini untuk memperingati hari lahir Syekh Abdul Qadir Jaelani, tokoh sufi dari Baghdad, Irak, yang jatuh pada tanggal 11 (sewelas).

Suluk ini, dalam bahasa Jawa dan Arab, terdiri dari salawat dan zikir—zikir zahir (fisik) dan zikir sirri (batin). Ketika zikir mereka terdengar mirip dengungan, orang-orang itu seperti ekstase. Jari tangan tak henti memetik butir tasbih. Ketika jari berhenti, zikir dilanjutkan di dalam batin. Pada titik ini terjadi ”penyatuan” dengan Yang Maha Esa.

Sesepuh Kelompok Sewelasan, Hadisumarsono (73), menjelaskan, suluk ini merupakan sarana bagi jemaah untuk menyatukan diri dengan Tuhan. ”Lewat suluk ini akan mempertebal keyakinan kepada Allah SWT sehingga terjadi manunggaling raos dumateng Gusti,” tuturnya.

Medium Jawa

Ritual Suluk Sewelasan itu dinyatakan sebagai meneruskan tradisi sejak zaman para wali. Mereka mengaku sebagai ”Jawa deles” (sejati) karena itu mereka memakai bahasa Jawa dalam salawatan sebab bahasa Jawa dianggap lebih bisa mengartikulasikan gerak batin mereka. Adapun surat Al Quran dan hadis menggunakan bahasa Arab.

Suluk Sewelasan diawali: Dedalane slamet iku ana lima/Sapa kang nglakoni iku bakal beja/ Kaping pisan taat Allah Kang Kuasa/Kaping pindo taat maring Nabiira/Kaping telu tunduk prentahe negara/Prentahe kang ora nglanggar ing agama/Kaping papat budi luhur tata krama/Kaping lima ilmu amal kang piguna//.

Salawat di atas maknanya adalah pedoman bagi umat Islam; taat kepada Allah, taat kepada Nabi, tunduk kepada negara, berbudi luhur dan tata krama, serta mengamalkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan.

Tradisi budaya Islam di Jawa banyak yang memakai bahasa Jawa sebagai media komunikasi. Bahasa Jawa yang digunakan cenderung sederhana dan merefleksikan pemahaman tentang agama yang tak kelewat muskil, tetapi justru menjelma menjadi penghayatan yang personal.

Dengarlah bawa ”Rukun Islam” oleh Kelompok Rodhat Lesung dari Sragen ini: …Rukun Islam kang lima puniku/katindakna ing para sesama/aja pada ditinggalke/ Rukun lima puniku, syahadate kang angka siji, kang angka loro sholat/dene kang katelu Romadhon nindakake pasa/papat zakat, ping lima ngibadah haji/rukun Islam sampurna//.

Seni rodhat, yang dicirikan oleh penari putri berkacamata hitam, kali ini diwakili enam waria yang tampil kemayu dan menjadikannya sebagai pertunjukan yang rancak. Dengan iringan lesung, terbang dan tambur, diiringi salawat berbahasa Jawa yang bersahutan dengan senggakan spontan, Rodhat Lesung membuktikan bahwa dakwah dan syiar agama bisa sampai ke publik lewat kesenian rakyat yang komunikatif.

Menurut budayawan MT Arifin, Islam yang beradaptasi dengan kebudayaan Jawa itu dirintis Sunan Bonang lalu dilanjutkan oleh Sunan Kalijaga. ”Islam yang berkembang di Indonesia kebanyakan beraliran sufi atau tasawuf karena itu memang lebih mengena dengan kultur masyarakat setempat, terutama di Jawa,” ungkapnya.

Dalam bentuk seni musik, adaptasi Islam dalam Jawa itu juga terekspresikan lewat santiswaran (lagu puji-pujian), yang merupakan paduan antara hadrah dan karawitan Jawa sehingga menghasilkan musik yang indah.

Dengarlah terjemahan surat Al-Alaq, yang bercerita tentang turunnya wahyu Al Quran yang diterima Nabi Muhammad di Goa Hira, dalam tembang Mijil yang dibawakan oleh Kelompok Santiswaran Larasmadya ”Wening Ati” (Solo) ini.

Tumurune roh Al-Quran suci ing wulan Romadhon/amung limang ayat kawitane/ aneng guwa Hira ingkang sepi/Alantaran Jibril wahyu kang dumawah/suratira Al Alaq sayekti, dawuh ingkang maton/alantaran Jibril tumurune/Wus tinampi dening Kanjeng Gusti/duk amesu budi rikala mahengkung/manahira lir bendah rinujit, sedih aneng batos/dupi anguningani pratengkahe kafir Kures kang sangsaya ndadi/brahala den pundi, o srikendel arum/Allah paring panglipuring ati, Al-Quran kawiyos/ pinaringaken maring utusane/Kanjeng Nabi Muhammad sayekti/pungkasaning nabi, panutupe rosul//.

Transformasi

Tradisi seni budaya Islami tampaknya terus berkembang di Jawa sekalipun mengalami transformasi. Bentuk ritual tradisional berubah mengikuti aspirasi zaman. Sebagian jadi kontemporer, bahkan ngepop, tetapi napas agama tetap kental.

Kelompok Wireng Santi Guna dari Baluwarti Solo, misalnya, menyajikan santiswaran yang sebagian repertoarnya mengacu pada tradisi keraton. Namun, mereka juga menggubah repertoar baru yang bertema kerukunan beragama; mengingatkan tentang pluralitas di masyarakat. Kelompok ini merupakan ”pembauran” karena anggotanya—separuhnya ibu-ibu—terdiri dari beragam pemeluk agama; ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddhis.

”Sejak terbentuk tahun 2004, kelompok santiswaran ini kami jadikan sebagai sarana untuk menumbuhkan kerukunan beragama dalam lingkungan warga masyarakat. Rasanya lebih indah kalau tumbuh kerukunan di antara umat beragama walau kita menyadari satu sama lain berbeda,” tutur MT Supriyanto, pimpinannya.

Keindahan serupa kita rasakan pada anak-anak muda yang memilih bentuk nasyid, seperti Kelompok Zukhruf (Solo) ini: Ayolah semua budayakan salat/untuk memperkuat jati diri kita sebagai umat-umat Muhammad/penerus risalah dalam Islam/Lemparkan sauh di pantai/pertanda kapal layar akan berlabuh/Itulah kita, umat Muhammad mencapai Islam ke permukaan/Assalamualaikum… /salam membawa rahmat dan doa/membawa kita pada maslahat/mencapai mulia saat bersua/meningkatkan ukhuwah Islamiah. (EKI/SON)

Tidak ada komentar: